Monday 26 January 2009

Marco Polo

 

"Ini awal dari pendahuluan buku yang saya namakan Lukisan Dunia. Tuanku Raja, Ratu, Mahapatih, para ksatria, tuan dan puan sekalian yang ingin tahu bagaimana rupa-rupa manusia dan perbedaan antarnegeri di berbagai belahan dunia, bacalah buku ini. Lewat buku ini, Anda akan menemukan keajaiban terbesar dunia...."

Marco Polo membuka kisah petualangannya menempuh jalur sutera dalam buku yang ia tulis, Il Milione (The Description of the World). Ia tak sekadar mencatat dan mendiskripsikan apa yang dilihat sepanjang negeri yang dikunjungi, tapi juga menghidupkannya bak sebuah cerita.

Ketika melukiskan gurun Gobi, di Mongolia misalnya, ia menulis, "Gurun ini begitu panjang. Perlu setahun untuk menempuhnya dari ujung ke ujung. Untuk mencapai titik terdekat perlu waktu sebulan. Tak ada apa-apa untuk dimakan. Yang ada cuma pasir, bukit, pegunungan, dan suara-suara yang datang dan pergi, seperti memanggil-manggil namamu."

Saat menggambarkan perempuan-perempuan bangsawan Mongol, petualang Venesia Italia ini mencirikannya dengan kalimat, "Mereka berdandan, menata rambut sesukanya, dan bicara lebih bebas."

Seorang penulis yang jeli dan terampilkah Marco Polo? Apakah ia juga penyuka karya-karya klasik? Tak. Marco Polo (1254-1324) tak lebih pedagang yang suka bertualang. Buku yang selalu ia baca berulang-ulang hanyalah bibel. Kelebihannya, dan ini yang mungkin membuat namanya melegenda adalah, "ia suka mengamati perilaku orang, binatang, mengumpulkan tanaman, mengunjungi daerah-daerah asing, dan membuat peta."Dengan minat menjelajah itulah, Marco Polo telah menempuh perjalanan 8.050 kilometer pada usia muda. Pada umur 17 tahun, bersama ayah dan pamannya (Niccolo Polo dan Maffeo Polo), ia berlayar ke timur. Ia menapaki Armenia, Persia, Afghanistan, melewati Pamirs, Mongolia dan Cathay atau Cina.

Di Mongolia, Marco Polo menjadi orang Eropa kepercayaan Kubilai Khan (1214-1294), raja termasyhur kerajaan Khan. Ia terpesona pada istana Kubilai di Shang-tu (istana musim panas) dan Cambaluc (istana musim dingin). Cambaluc (sekarang Beijing) kemudian jadi ibukota kerajaan Khan.Ia menggambarkan istana Kubilai sebagai berdinding emas dan perak, berlantai pualam, dengan perabotan kayu dan rotan yang diikat dengan benang-benang sutera, tiang-tiang dengan ukiran bergambar kuda, dan hall yang dihias dengan lukisan manusia dan binatang. Hall ini bisa memuat 6.000 orang. "Sebuah istana yang tak pernah kubayangkan sebelumnya, istana dengan seni yang indah dan mengherankan," tulis Polo.

Polo menghabiskan perjalanannya ke jalur sutera selama 24 tahun, sebelum kembali ke Italia. Sebagian besar waktu petualangannya dihabiskan di kerajaan Khan.

Namun Frances Wood, yang mengepalai departemen Cina di British Library, dalam bukunyaDid Marco Polo Go to China? (1998), meragukan Marco Polo pernah menginjak Cina. Alasan yang diajukan Wood antara lain Polo tak pernah menyebut beberapa kebiasaan penting penduduk negeri itu, seperti makan dengan sumpit, tradisi minum teh, dan gadis-gadis Cina yang "dipaksa" berkaki kecil (foot binding).

Polo, kata Wood, juga tak bercerita tentang tembok Cina yang sudah dibangun jauh sebelum Polo datang. Wood bahkan mencurigai Marco Polo hanya memakai peta milik ayah dan pamannya--yang memang diakui pernah tinggal di Cathay--dan kemudian mengarang ceritanya.

Wood menunjukkan fakta lain yang menyebut bahwa Il Milione tak ditulis langsung oleh Polo. Saudagar itu cuma menuturkan kisahnya, sementara kawannya Rustichello da Pisa yang menuliskannya. Polo dan Rustichello bertemu di penjara Genoa. Keduanya ditahan karena mencoba memberontak pemerintah. Saat itu Polo belum lama pulang dari Asia.Pendeknya, Wood seperti hendak menuding bahwa Il Milione adalah karya tipuan, setidaknya ada bias dari sang penulis.

John Larner dari Glasgow University dalam buku Marco Polo and the Discovery of the World(2001) membenarkan bahwa kisah-kisah Polo ditulis oleh Rustichello. Namun, kata Larner, itu tak berarti Polo sama sekali tak pernah pergi ke Cina.

Dokumen yang tercantum dalam ensiklopedi Cina abad 14 (dipublikasi pada 1941 oleh Yang Chih-chiu) dan catatan sejarawan Persia Rashid al-Din (1247-1317) dalam Jami' al-Tawarikh (the Complete Collection of Histories) (1307) yang dipublikasi oleh F.W Cleaves pada 1976  menyebutkan ekspedisi laut ratu Mongol, Kokecin, dari Cina ke Persia pada 1291-1293 juga melibatkan Marco Polo.

Larner menjelaskan bahwa sebagian besar waktu Polo memang dihabiskan di kawasan Mongolia, namun Polo juga pernah berada di Cambaluc dan beberapa daerah di kawasan Cina sekitar 3,5 tahun.

Majalah National Geographic (edisi April 2001) pernah menjejaki petualangan Marco Polo dari Venesia hingga Cina. Mereka mengikuti rute persis seperti yang ada di The Description of the World.

Sang penulis, Mike Edwards, suatu kali mendatangi museum di Quanzhou dan menemukan sebuah perahu 34 meter dari zaman Marco Polo. Ia mengamati model perahu, struktur kayu, pahatan, hingga jenis paku di perahu itu. Ia bertanya pada sejarawan Cina. Hasilnya, penggambaran Polo di The Description of the World yang detail sama persis dengan yang ia temukan di museum tersebut. Dari sini Edwards percaya, Polo pernah pergi ke Cina.

Namun fakta lain juga menunjukkan bahwa karya asli Il Milione sudah tak ada lagi. Buku itu sudah diterjemahkan oleh banyak penulis dalam pelbagai bahasa di banyak kurun waktu. Bahkan ada buku berbahasa Italia yang mengambil dari naskah Latin yang sebelumnya mengambil dari naskah Italia. Il Milione atau The Description of the World punya 150 versi!

Lalu bagaimana mungkin benar-benar percaya pada kisah penjelajahan Marco Polo, jika yang bisa dilakukan adalah menjejaki remah-remah cerita atau mencari sendiri dokumen otentik? Wood menyatakan, ia cemas pada sejarah Marco Polo yang ditulis oleh kawan penjaranya yang nota bene adalah seorang penulis sastra roman

M Thariq Ziyad

7B

Sunday 18 January 2009

Iwan Fals

barusan aku masuk ke situs iwan fals di falsettoholic.multiply.com, berikut adalah tulisan karangan gabungan judul lagu iwan fals:

Melihat tayangan televisi banyak remaja yang bangga menjadi generasi frustasi. Sekolah biasa-biasa saja yang penting pak guru Umar Bakri senang pasti jadi murid kesayangan. Begitu cita-cita yang digantungkan setinggi langit semakin susah dicapai hingga seorang sarjana muda mengeluh terus pada nasibnya yang tidak pernah mujur dalam mencari kerja.

 

Pergi kesana dan kemari hingga bertemu si tua sais pedati yang masih setia mencari rumput untuk makan sapi-sapinya. Baru tiga empat langkah ternyata didepan sebuah persimpangan jalan tampak si Budi kecil masih saja berjualan koran di sore tugu Pancoran.

 

Belum habis kaki ini melangkah sambil menikmati macetnya jalan terlihat sebuah gedung megah berhalaman luas. Seorang tukang pos berhenti di pintu gerbangnya dan memberikan surat buat wakil rakyat kepada penjaga pintu dengan kumis tebal melintang yang berlagak seperti seorang serdadu kelaparan. Surat itu berisi seluruh persoalan hidupnya yang tidak pernah membaik dari jaman orde baru hingga sekarang ini jaman orde yang paling baru.

 

Di tempat lain tuan Polan yang berkantong tebal masih asyik membaca koran pagi sambil ngopi di kursi teras berlantai marmer rumahnya. Sementara si Icih terus saja meneteskan air mata yang jatuh kedalam ember berisi air pembersih lantai. Si Urip yang pipinya lebam karena tamparan tante Lisa masih menjalankan aktivitasnya mencuci mobil mengkilat milik anak majikan.

 

Sebentar menoleh ke ujung aspal Pondok Gede nampak rutinitas bumi hangus bangunan masih terjadi. Raung buldozer semakin menggila merobohkan rumah-rumah petak milik pendatang yang tidak boleh mendapat kesempatan hidup di kota besar. Padahal Tarmijah teman si Icih baru seminggu datang untuk mencoba keberuntungan di kota ini. Nona yang pipinya masih memerah bekas hantaman nyonya majikan sebelumnya semakin sedih karena tak punya rumah lagi. Beban pikiran dan kebutuhan untuk menghidupi anak-anaknya semakin berat. Sampai pada suatu titik dia berpikiran untuk menjadi lonte.

 

Si Budi kecil sepulang dari menjual koran di simpang tugu Pancoran kaget bukan kepalang melihat rumahnya telah rata dengan tanah. Kedua orang tuanya entah dimana. Bapaknya yang bernama Sugali entah sekarang dipenjara dimana atau malah sudah mati sedangkan ibunya sekarang entah sedang di booking siapa. Dia bingung mau jadi apa nanti. Harapannya berantakan jadilah dia berandal malam di bangku terminal. Kawan-kawannya menjuluki dia Gali Gongli.

 

Seorang lelaki renta setengah baya yang antri membeli tiket kereta terus bertanya “kereta tiba pukul berapa?” kepada petugas loket yang tidak pernah tersenyum. Tak seberapa lama datanglah segerombolan pria berbadan tegap berambut cepak. Lelaki itu di pukuli dan di borgol tanpa basa-basi. Rupanya mereka adalah polisi yang berpakaian preman. Keesokan harinya kabar dikoran berkata paman Doblang ditangkap dan dituduh sebagai teroris.

 

Nasib sial sering menimpa mereka yang oleh sebagian orang dianggap orang gila, padahal kita tidak pernah tahu apa yang terjadi sebenarnya. Kebenaran dan keadilan disini terasa masih berada jauh di awang-awang bahkan masih sangat jauh. 

Thursday 15 January 2009

Kisah Nyata atau Dongeng?

Saya akan menceritakan beberapa kisah nyata dan saya jamin Anda akan merasakannnya sebagai sekedar dongeng. Bukan karena Anda tidak mempercayai saya atau sumber-sumber dari mana saya memperoleh kisah-kisah nyata itu; namun terutama karena kita hidup di zaman yang jauh lebih absurd dari dongeng. Atau karena kehidupan kita sudah sedemikian jauh meninggalkan norma-norma nyata dalam kehidupan kemanusiaan.

Baiklah saya mulai saja. Anda sudah siap mengikuti kisah-kisah saya? Inilah:

1. Suatu hari ada seorang tua miskin datang kepada Syeikh –kalau sekarang mungkin dipanggil kiai-- Sa’id bin Salim, hendak menyampaikan sesuatu keperluan meminta tolong kepada tokoh masyarakat yang disegani itu. Seperti laiknya orang yang sudah tua renta, selama berbicara mengutarakan hajatnya, si orang tua miskin itu bertelekan pada tongkat penopang ketuaannya. Dan tanpa disadari, ujung tongkatnya itu menghunjam pada kaki syeikh Sa’id hingga berdarah-darah. Seperti tidak merasakan apa-apa, Syiekh Sa’id terus mendengarkan dengan penuh perhatian keluhan wong cilik itu.

Demikianlah; ketika orang tua itu sudah mendapatkan dari Syeikh apa yang ia perlukan dan pergi meninggalkan majlis, orang-orang yang dari tadi memendam keheranan pun serta-merta bertanya kepada Syeikh Sa’id: “Kenapa Syeikh diam saja, tidak menegur, ketika orang tua tadi menghunjamkan tongkatnya di kaki Syeikh?”

“Kalian kan tahu sendiri, dia datang kepadaku untuk menyampaikan keperluannya;” jawab Syeikh Sa’id sambil tersenyum, “Kalau aku mengaduh atau apalagi menegurnya, aku khawatir dia akan merasa bersalah dan tidak jadi menyampaikan hajatnya.”

Lihatlah. Bukankah kisah di atas bagaikan dongeng saja?! Mana ada pemimpin atau tokoh masyarakat yang begitu tinggi menempatkan keperluan orang yang memerlukan bantuan dalam perhatiannya? Kalau pun ada, mungkin untuk menemukannya bagaikan mencari jarum di tumpukan jerami sekarang ini.

2. Syeikh Hasan Al-Bashari, siapa yang tak mengenal tokoh ulama dan sufi di penghujung abad pertama ini? Beliau tinggal bertetangga dengan seorang Nasrani. Apartemen si Nasrani di atas dan beliau di bawah. Bertahun-tahun mereka bertetangga, belum pernah si Nasrani datang bertandang ke apartemen Syeikh Hasan. Baru ketika Syeikh Hasan jatuh sakit, si Nasrani datang menjenguk.

Ketika menjenguk itulah, si Nasrani baru tahu betapa sederhana kehidupan Syeikh Hasan yang sangat terkenal kebesarannya itu. Tapi yang lebih menarik perhatian si Nasrani adalah adanya sebuah baskom berisi air keruh yang terletak di dekat balai-balai tempat tidur Syeikh Hasan. Apalagi ketika ada tetesan air jatuh tepat dari atas baskom. Spontan si Nasrani teringat kamar mandinya di atas. Dengan ragu-ragu si Nasrani pun bertanya: “Syeikh, ini baskom apa?’

“Ah baskom itu, sekedar penampung tiris;” jawab Syeikh wajar-wajar saja, “Setiap kali penuh baru saya buang.”

“Sudah berapa lama Syeikh melakukan ini?” tanya si Nasrani lagi dengan suara gemetar, “maksud saya menampung tiris dari atas ini?”

“Ya, kurang-lebih sudah dua puluh tahun;” jawab Syeikh kalem, “jadi sudah terbiasa.”

Mendengar itu, si Nasrani langsung menyatakan syahadat. Mengakui Tuhan dan Rasul-nya Syeikh Hasan Al-Bashari, Allah swt dan Nabi Muhammad saw.

Seperti dongeng bukan? Dimana kini Anda bisa menjumpai orang yang menjunjung tinggi ajaran menghormati tetangga seperti Hasan Al-Bashari itu?

3. Datang seseorang melarat kepada sang pemimpin mengeluhkan kondisinya yang sangat lapar. Sang pemimpin pun bertanya kepada isterinya kalau-kalau ada sesuatu yang dapat disuguhkan kepada tamunya. Ternyata di rumah sang pemimpin yang ada hanya air. Sang pemimpin pun bertanya kepada orang-orang di sekelilingnya, “Siapa yang bersedia menjamu tamuku ini?”

“Saya;” kata seseorang. Lalu orang ini pun segera pulang ke rumahnya sendiri membawa tamunya.

“Saya membawa tamunya pemimpin kita, tolong sediakan makanan untuk menjamunya!” katanya kepada isterinya.

“Wah, sudah tidak ada makanan lagi, kecuali persiadaan untuk anak-anak kita;” bisik sang isteri.

“Sibukkan mereka;” kata suaminya lirih, “kalau datang waktunya makan, usahakan mereka tidur. Nanti kalau si tamu akan masuk untuk makan, padamkan lampu dan kita pura-pura ikut makan, ya!”

Demikianlah keluarga itu menjalankan skenario kepala rumah tangganya. Dan mereka menahan lapar mereka sendiri hingga pagi.

Esok harinya sebelum laporan, sang pemimpin yang tidak lain adalah Rasulullah saw, sudah menyambut kepala rumah tangga –seorang shahabat Anshor-- itu dengan tersenyum, sabdanya: “Allah takjub menyaksikan perlakuan kalian berdua terhadap tamu kalian semalan.”

Anda tahu kisah ini bukan dongeng, karena ini hadis muttafaq ‘alaih yang bersumber dari shahabat Abu Hurairah r.a. Tapi tetap saja kedengarannya seperti dongeng, bukan ?!

Tiga kisah itu hanyalah sekedar contoh, yang lainnya masih banyak lagi. Anda bisa dengan mudah menjumpainya di kitab-kitab Anda, di kitab suci Al-Quran, di kitab-kitab Hadis, dan kitab-kitab salaf pegangan kita yang lain. Hampir semuanya, bila Anda baca, Anda akan merasa seperti membaca contoh-contoh di atas. Merasa seperti membaca dongeng. Kalau benar demikian, bukankah ini pertanda bahwa kondisi kehidupan kita –masya Allah!—sudah semakin jauh saja dengan kondisi ideal seperti yang dicontohkan oleh Salafunaas Shaalihuun, para pemimpin dan pendahulu kita yang saleh-saleh.

Wallahu a’lam.

Tuesday 6 January 2009

I'm Sorry Mom

For twelve year, You’ve loved me

For twelve year, You’ve cared me

For twelve year, You’ve kept me from dangerous.

 

But, For twelve year, I’ve strive against you

But, For twelve year, I’m not always reverence you

But, For twelve year, I’m not always listen to you.

I’m Sorry Mom