Thursday 6 December 2012

Review Negeri Para Bedebah


Tapi setidaknya, Kawan, di negeri para bedebah petarung sejati tidak akan pernah berkhianat.

Judul Buku               : Negeri Para Bedebah
Nama Pengarang     : Tere-Liye
Penerbit                    : PT Gramedia Pustaka Utama Juli 2012
Tebal Halaman        : 440 halaman
Tere-Liye kembali lagi dengan salah satu novel terbarunya, Negeri Para Bedebah. Melalui tokoh Thomas, seorang ahli ekonom yang berusaha menyelamatkan bank milik keluarganya, Tere Liye seakan menyentil masyarakat Indonesia, terutama para ahli ekonom, akan banyaknya manipulasi keuangan di Negeri ini.
Buku ini dibuka dengan wawancara Thomas diatas sebuah pesawat dari London dengan seorang wartawati yang bernama Julia. Turun dari pesawat, Thomas langsung menuju lantai teratas salah satu gedung pencakar langit ibukota. Di sana, Thomas menghadiri sebuah klub tinju yang berisi para petinggi-petinggi perusahaan dan pejabat-pejabat yang ingin melampiaskan stress bekerja dengan cara bertinju. Pulang dari klub tersebut, Thomas yang berusaha tertidur dikejutkan oleh kehadiran pembantu pamannya yang sudah lama tidak bertemu dengan Thomas. Rupanya, bank milik keluarga Thomas terancam bangkrut, dan pamannya itu, Om Liem, terancam hukuman kurung penjara. Walaupun sudah lama bertengkar dengan Om Liem, Thomas rela turun tangan untuk membantu pamannya itu, karena Thomas merasa ada sesuatu yang janggal dengan dengan pembangkrutan bank pamannya tersebut.
Seperti buku-buku karangan Tere-Liye sebelumnya, gaya bahasa Tere-Liye, yang akrab dipanggil bang Tere, sangat terasa dalam buku ini. Menggunakan susunan kata yang gampang dimengerti, diawal buku Bang Tere melalui Thomas menjelaskan beberapa konsep dasar ekonomi. Sepanjang buku, ciri khas Bang Tere, seperti penggunaan kalimat tidak langsung untuk dialog, sangatlah menonjol.
Hal lain yang sangat menarik adalah alurnya. Untuk mencegah runtuhnya bank Om Liem, Thomas harus menaklukkan beberapa ‘pion’ penting dalam pengambilan keputusan apakah bank itu akan gulung tikar, ataukah bank itu akan ditalangi pemerintah? Berbagai cara dilakukan Thomas untuk meyakinkan ‘pion-pion’ tersebut, seperti sengaja satu pesawat dengan pimpinan Bank Sentral, berpura-pura mewawancarai Ibu menteri, dan sebagainya.
Sembari mengejar-ngejar ‘pion-pion’ tersebut, Thomas juga harus menghindari kejaran polisi yang mengejarnya karena Thomas membantu Om Liem kabur dari kepungan polisi. Seperti saat mengejar-ngejar ‘pion’, untuk kabur dari Polisi Thomas menggunakan berbagai cara. Mulai dari berpura-pura naik pesawat keluar Negeri, sampai cara yang ‘terkenal’, yaitu membayar sipir penjara.
Hal menarik lainnya adalah berbagai pengetahuan yang diselipkan Tere-Liye dalam buku ini. Seperti dalam salah satu adegan, Thomas harus menggunakan racun dari bahan yang ada disekitarnya. Maka teringatlah Thomas akan cerita Opanya sekian tahun lalu. Saat itu entah kenapa Opa sedang mengajarkan Thomas mengenai racun-racun disekitar kita. Salah satu tumbuhan yang diceritakan Opa adalah racun dalam bunga terompet. Jadilah Thomas menaburkan serpihan bugna terompet diatas Pizza yang dipesan polisi.
Salah satu ciri khas Tere-Liye yang lain adalah penamaan tokoh. Hampir setiap buku Tere-Liye mempunyai tokoh utama yang sampai akhir buku tidak diberikan nama. Misalnya, sampai akhir buku, perwira polisi dan petinggi jaksa yang menjadi antagonis utama, tidak pernah disebutkan namanya.
Sayangnya, alur cerita yang campuran, ditambah beberapa penjelasan yang diselipkan ditengah cerita, dapat membuat bingung pembaca yang masih belum terbiasa dengan gaya menulis Tere-Liye. Bagi pembaca yang tidak serius, akan cepat merasa bosan dengan novel ini.
Akan tetapi, bagi saya alur cerita yang campuran ini justru menambah kemenarikan dari buku ini. Digabungkan dengan alur yang tak terduga, gaya penulisan yang khas, pengetahuan-pengetahuan yang diselipkan, dan tokoh-tokoh tak bernama, buku ini merupakan salah satu buku rekomendasi saya. Usahakanlah membaca buku ini, karena “Di negeri para bedebah, kisah fiksi kalah seru dibanding kisah nyata”

Jakarta, Desember 2012

No comments: